Disebut
dengan penggugat adalah orang baik untuk dan atas namapribadi maupun
atas nama suatu lembaga yang merasa haknya dilanggar. Sedang bagi orang
yang ditarik ke muka muka pengadilan karena ia dianggap melanggar hak
seseorang / beberapa orang atau lembaga tersebut disebut tergugat.
Manakala ada banyak pihak yang terlibat dalam suatu perkara baik
penggugat meupun tergugat, para pihak tersebut disebut penggugat satu,
penggugat dua dan seterusnya, demikian pula disebut tergugat satu,
tergugat dua dan seterusnya.
Dalam
praktik persidangan perkataan turut tergugat dipergunakan bagi
orang-orang atau pihak-pihak yang tidak menguasai barang sengketa atau
tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu, hanya demi lengkapnya suatu
gugatan harus diikutsertakan. Diikutsertakannya para pihak yang dirasa
turut tergugat adalah orang atau lembaga yang menurut penggugat tidak
menjadikannya sebagai sasaran utama, hanya berperan sebagai penguat apa
yang menjadi sasaran utamanya. Istilah turut penggugat dalam suatu
perkara di persidangan tidak pernah dijumpai, karena demikian itu tidak
dikenal dalam hukum acara perdata, kalau sekiranya ada istilah turut
penggugat sesungguhnya adalah berperan sebagai saksi yang diajukan oleh
penggugat yang menurutnya dianggap mengetahui, dan pengetahuannya itu
dianggap mendukung apa yang menjadi haknya. Turut tergugat bukan berarti
tergugat atau penggugat akan tetapi demi lengkapnya pihak-pihak harus
diikutsertakan sekedar untuk turut serta mentaati terhadap putusan
pengadilan.
Memakai
perkataan “merasa” / “dirasa”oleh karena belum tentu yang bersangkutan
sesungguh-sungguhnya melanggar hak penggugat. Sebagai contoh dalam
persoalan harta waris, seorang anak angkat almarhum A dan almarhum B
yang bernama C, menggugat pamannya adik dari almarhum A yang benama D,
oleh karena pamannya ini menguasai sebidang tanah bekas milik ayah
almarhum A dan D, C sebagai penggugat merasa bahwa D melanggar haknya,
akan tetapi oleh karena C adalah bukan sebagai ahli waris dari pada
keluarga A dan B, dia hanya berstatussebagai anak angkat yang tidak
adanya bagian waris baginya, maka si C tersebut disebut dengan orang
yang tidak punya hak kedudukan hukum, sebab orang yang tidak punya hak
atau kedudukan hukum atas sengketa yang diperkarakan, dengan demikian C
adalah sebagai pihak penggugat yang tidak sah karena tindakannya sudah
cacat formil terlebih dahulu dan berada dalam keadaan diskualifikasi in
person dan seperti ini sesuai dengan asas tidak ada hak tidak ada
putusan (vordering), sebab hak seseorang menuntut adalah terbatas
sepanjang hak yang dimilikinya (nemo plus juris).
Dalam
hukum acara perdata, inisiatif ada dan tidaknya suatu perkara harus
diambil seseorang atau beberapa orang yang merasa bahwa haknya atau hak
mereka dilanggar, ini berbeda dengan sifat Hukum Acara Pidana, yang pada
umumnya tidak menggantungkan adanya perkara dari inisiatif orang yang
dirugikan, misalnya apabila terjadi pembunuhan tanpa adanya suatu
pengaduan, pihak berwajib harus bertindak. Oleh karena dalam Hukum Acara
Perdata inisiatif ada pada penggugat, maka penggugat mempunyai pengaruh
besar terhadap jalannya perkara, setelah perkara diajukan, penggugat
dalam batas-batas tertentu dapat merubah atau mencabut kembali
gugatannya.
E. 2. PEMOHON DAN TERMOHON
Permohonan
pemohon adalah suatu permohonan yang didalamnya berisi suatu tuntutan
hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hak yang
tidak mengandung sengketa, sehingga badan-badan peradilan dalam
mengadili suatu perkara permohonan (voluntair) bila dianggap sebagai
suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya.
Di
lingkungan peradilan agama, sebagaimana yang dijelaskan dalam SE-MA No.
2 Tahun 1990, menyebutkan padaasasnya cerai talak adalah merupakan
sengketa perkawinan antara kedua belah pihak, sehingga karenanya
permohonan cerai talak merupakan perkara contentius dan bukan perkara voluntair, untuk itu produk hakim adalah perkara permohonan tersebut dibuat dalam bentuk kata putusan dengan amar dalam bentuk penetapan.
Pengadilan
hanya berwenang menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan setiap
perkara yang bersifat sengketa. Secara khusus peradilan agama
dibenarkan untuk menangani perkara yang bukan atas dasar persengketaan
nsmun bersifat permohonan kepada Pengadilan Agama, seperti perkara wali
adlol (Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1987), dispensasi nikah (UU
No. 1 Tahun 1974, Pasal 7 (2), ijin nikah (UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 6
(5) jo. Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 (2), dan ijin poligami (PP No. 9
Tahun 1975, Pasal 40).
Prosedur
pengajuan perkara wali adlol adalah dilakukan sebagaimana perkara
biasa, dan tahapan-tahapan tingkat pemeriksaan perkara tersebut adalah
dilakukan dengan tepat, cermat dan singkat oleh hakim yang
menyidangkannya, hal ini dilakukan untuk ditemukan kebenaran fakta
tentang adlolnya wali. Pemeriksaan singkat (kortgeding) diatur juga
dalam pasal 283 RV (reglemen hukum acara perdata) yakni pemeriksaan
secara singkat dimuka hakim mengenai perkara yang karena memerlukan
penyelesaian cepat dan seketika itu juga menghendaki putusan yang
segera.
Mahkamah
Agung dalam putusannya tanggal 13 Oktober 1954, menyatakan tidak nampak
suatu keharusan yang patut untuk memperlakukan peraturan pemeriksaan
kilat (kortgeding), sebagai peraturan yang berlaku atau sebagai pedoman
bagi peradilan, sehingga yang dimaksud dengan acara singkat dalam pasal 2
ayat (3) peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 adalah bahwa
terhadap permohonan wali adlol diharapkan prosedur pemeriksaan di
persidangan dapat dilaksanakan jauh lebih cepat.
Di
samping wali adlol adalah perkara poligami, meskipun nampaknya ijin
poligami itu menurut ketentuan perundang-undangan, merupakan perkara
voluntair, tetapi dalam praktik selalu melibatkan kepentingan pihak
lain, yaitu pihak isteri dan calon isteri. Sehingga Mahkamah Agung
memberikan petunjukdalam hal permohonan ijin poligami tidak dapat
dilakukan secara voluntair akan tetapi harus dalam bentuk gugatan yang
bersifat contensius. Dengan demikian, ada kewenangan peradilan agama
untuk menangani perkara-perkara voluntair sejauh yang telah ditentukan
oleh undang-undang, untuk mendapatkan penetapan dari pengadilan.
Perbedaannya
dengan perkara gugatan murni adalah bahwa dalam perkara gugatanterdapat
persengketaan yang harus mendapatkan penyelesaian melalui putusan
pengadilan.Dalam perkara gugatan terdapat seorang atau lebih yang merasa
haknya telah dilanggar, akan tetapi orang yang dirasa melanggar hak
seseorang atau beberapa orang tersebut tidak mau secara suka rela
melakukan sesuatu yang diminta itu, untuk menentukan siapa yang benar
dan berhak, diperlukan adanya suatu putusan pengadilan. Diawali dengan
pengajuan perkara oleh pihak yang merasa haknya dilanggar, dan dalam
proses persidangan terdapat perselisihan dan persengketaan, bukan atas
dasar kesepakatan rela sama rela, karena produk yang dikeluarkan oleh
pengadilan dalam perkara contentiosa bukan lagi penetapan tapi dalam bentuk putusan.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking